Kamis, 13 Februari 2014

PENGAMEN YANG MENGINSPIRASI

http://www.youtube.com/watch?v=R3d_GRfUR74

Proposal PKL "KOMPOSISI DAN POLA ZONASI VEGETASI HUTAN MANGROVE"

KOMPOSISI DAN POLA ZONASI VEGETASI HUTAN MANGROVE
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hutan mangrove merupakan vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis. Sebagai sebuah komunitas yang membentuk ekosistem perairan, tentunya keberadaan mangrove tidak dapat dimarjinalkan, dikarenakan hutan ini memiliki multi fungsi yang keberadaannya tidak dapat digantikan dengan ekosistem lain.
Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan tersebar dibeberapa pulau seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Kepulauan Maluku. “Luas hutan mangrove di Indonesia antara tahun 1982-1987 adalah sekitar 5,21 Ha” (Widogdo; 2000 dalam Rohana (2006). Sehubungan dengan itu, DepHut; 1996 dalam Dahuri (2003) menyatakan bahwa ”Luas total hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1996 adalah 3.5 juta Ha”. Hal ini menunjukan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia semakin lama semakin berkurang atau semakin sempit, hal ini disebabkan oleh adanya kegiatan manusia yang berpengaruh terhadap ekosistem hutan mangrove.
Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia. Vegetasi hutan mangrove di Indonesia tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove, dan umumnya pada vegetasi ini terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati atau dominan yang termasuk dalam empat famili yaitu Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera dan Ceriop), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia) dan Meliaceae (Xylocarpus). (Dahuri: 2003).


Hutan mangrove di Indonesia memiliki kisaran variasi sifat fisik dan kimia yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain disamping itu pula dapat disebabkan oleh adanya pengaruh dari faktor lingkungan yang berbeda di setiap daerah serta diketahui bahwa setiap jenis mangrove menduduki zona yang cocok untuk pertumbuhannya. Adanya hal tersebut dapat diduga bahwa setiap daerah memiliki pola zonasi yang berbeda. Untuk itu informasi menyangkut pola zonasi ini sangat diperlukan.
Provinsi Gorontalo memiliki total luas hutan mangrove ± sekitar 12.074,74 Ha, salah satunya terdapat di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara yang memiliki luas 2.646,65 Ha. Pantai Utara yang terdapat di Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara, daerah ini memiliki hutan mangrove dengan luas 400 Ha pada Tahun 1980 dan mengalami penurunan pada tahun 2005 sehingga yang tersisa tinggal 200 Ha (Anonim, 2005).
Terjadinya penurunan luas hutan mangrove ini disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan sehingga terjadi pengalihan fungsi (refungsi) hutan mangrove oleh masyarakat setempat baik disengaja atau tidak disengaja untuk dijadikan sebagai lahan pembuatan tambak ikan, penebangan pohon untuk dijadikan kayunya sebagai bahan bakar, perabot rumah serta sebagai tiang perahu.
 
Hal ini dikarenakan hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat besar bagi manusia baik dari segi ekonomi maupun ekologi. Secara ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (Spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan dan berbagai spesies lainnya. Selain itu, serasah mangrove berupa daun, ranting, dan biomassa lainnya yang jatuh di perairan merupakan sumber pakan bagi biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut di depannya.
Selain itu, hutan mangrove juga merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptil, mamalia, dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mangrove menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi. Disamping itu, dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang tsunami, angin topan dan perembesan air laut. Fungsi secara kimia yakni sebagai penetralisir limbah kimia beracun berbahaya.
Secara ekonomi, hutan mangrove dapat dimanfaatkan kayunya sebagai bahan bangunan, bahan arang, bahan baku kertas. Hutan mangrove juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu penunjang ekowisata.
 
Jenis-jenis tumbuhan mangrove ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu dan zonasi dari setiap daerah memiliki pola yang berbeda-beda tergantung dari keadaan fisiografi daerah pesisir dan dinamika pasang surutnya. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah: Jenis tanah, terpaan ombak, salinitas dan penggenangan oleh air pasang. Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami akan terbentuk zonasi vegetasi mangrove. Berikut ini adalah sebaran jenis mangrove berdasarkan zonasi:
1. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicenia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia sp yang dominan tumbuh pada lumpur kaya bahan organik.
2. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya di dominasi oleh Rhizophora sp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera sp dan Xylocarpus sp.
3. Zonasi berikutnya, didominasi oleh Bruguiera sp.
 
4. Zonasi transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasanya ditumbuhi oleh Nypa proficans dan beberapa palem lainnya (Bengen, 2004).


Gambar 1. Pola Zonasi yang Terbentuk Secara Umum
Diketahui bahwa zonasi yang terbentuk memiliki beberapa model yang berbeda pada setiap lokasi di setiap daerah. Sebagaimana Nyabakken: 1992 menyatakan bahwa “Tidak ada model yang berlaku secara universal”. Skema umum zonasi mangrove untuk penggunaan secara luas pada daerah Indo-Pasifik dapat digunakan, namun skema yang berlaku di suatu tempat dapat berbeda dengan tempat yang lainnya. Pembentukan zonasi hutan mangrove yang dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan kemudian akan membentuk penyebaran jenis mangrove yang secara dominan menguasai masing-masing habitat zonasinya.
“Vegeteasi hutan mangrove di hampir setiap daerah mengalami penurunan kualitas maupun kuantitas disebabkan adanya eksploitasi oleh masyarakat yang apabila tidak terkendali maka hutan mangrove di daerah tersebut akan mengalami kerusakan” (Jamili, 1998). Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan (Anonim, 2006). Pentingnya analisis vegetasi dalam suatu habitat dilakukan yaitu untuk dapat mengetahui struktur, kemelimpahan jenis, distribusi vegetasi dalam suatu ekosistem, serta hubungan keberadaan tumbuhan dengan faktor lingkungannya.
Pengetahuan masyarakat tentang peranan hutan mangrove baik secara ekologi maupun ekonomi masih sangat terbatas, hal ini ditunjukkan dengan semakin menurunnya luas dan komunitas hutan mangrove yang disebabkan aktifitas masyarakat dengan mengeksploitasi hutan untuk dijadikan lahan pertambakan serta pemanfaatan pohon dari jenis mangrove sebagai bahan bakar atau perabot rumah tangga, sehingga menyebabkan semakin menurunnya fungsi hutan mangrove. Oleh karena itu, diharapkan instansi atau lembaga terkait khususnya Dinas Kehutanan Kabupaten Gorontalo Utara dapat melakukan sosialisasi tentang kompoisi vegetasi dan pola zonasi hutan mangrove khususnya di Kawasan Hutan Mangrove yang terdapat di Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini yang mengakaji ”Komposisi Vegetasi dan Pola Zonasi Hutan Mangrove di Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara”, sebagai langkah dalam konservasi.

1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana komposisi vegetasi mangrove yang terdapat di Wilayah Pantai Utara Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara?
2. Bagaimanakah pola Zonasi Hutan Mangrove yang terdapat di Wilayah Pantai Utara Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara?

1.3 Tujuan Penelitian
 
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui komposisi vegetasi mangrove yang terdapat di Wilayah Pantai Utara Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
2. Mengetahui pola Zonasi Hutan Mangrove yang terdapat di Wilayah Pantai Utara Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara

1.4 Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Sebagai bahan masukan pada mata kuliah Botani Tumbuhan Tinggi dan Ekologi Tumbuhan serta sebagai sumber informasi lanjutan bagi mahasiswa Jurusan Biologi.
2. Adanya data ilmiah tentang komposisi vegetasi dan pola zonasi hutan mangrove yang terdapat di Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
3. Sebagai sumber informasi tentang dominasi jenis mangrove dari setiap zonasi pesisir pantai.
4. Sebagai bahan informasi bagi Instansi atau Dinas yang terkait khususnya Dinas Kehutanan dengan melakukan sosialisasi akan pentingnya hutan mangrove sebagai salah satu potensi wilayah pesisir pantai.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Mohamad Basyuni (2002) menyatakan bahwa “Hutan mangrove tumbuh di zona pantai (berlumpur) yang secara teratur tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi tidak dipengaruhi iklim”. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang memiliki kadar oksigen rendah atau bahkan anaerob (Anonim, 2001).
Hutan mangrove sering kali disebut hutan bakau. Bakau sebenarnya hanya salah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove, yaitu jenis Rhizophora spp yang merupakan jenis yang mendominasi hutan mangrove. Meskipun demikian penggunaan istilah hutan bakau untuk menggambarkan hutan mangrove kurang tepat.
Hutan mangrove merupakan vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur, berlempung atau berpasir. Menurut Irwanto, (2006) bahwa ”Mangrove adalah tumbuhan khas daerah tropis yang hidupnya hanya berkembang baik pada temperatur dari 19° C sampai 40° C dengan toleransi fluktuasi tidak lebih dari 10oC”.
Vegetasi hutan mangrove dianggap unik, karena merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut yang mempunyai banyak manfaat. Manfaat utama hutan mangrove yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh ekosistem lainnya adalah kedudukannya sebagai mata rantai yang menghubungkan ekosistem laut dan darat.
 
Bengen, (2000) bahwa: “Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur; komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung”.

Selain itu Erna Rochana (2006) menyatakan ”Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem alamiah yang mempunyai manfaat ekologi dan ekonomis yang tinggi. Secara ekologis hutan mangrove berperan sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat pemijahan (spawning grounds), tempat pengasuhan (nursery grounds) dan tempat mencari makan (feeding grounds) bagi biota laut tertentu, serta mampu berperan sebagai penahan abrasi bagi wilayah darat. Hal lain yang sangat penting adalah manfaat hutan mangrove secara ekonomis, dimana vegetasi ini mampu menghasilkan bahan dasar untuk keperluan rumah tangga dan industri, seperti kayu bakar, arang, kertas, rayon dan lain sebagainya, serta sebagai salah satu pendukung pengembangan ekowisata bahari”.

2.2 Jenis-Jenis Mangrove
Banyak jenis mangrove yang sudah dikenal dunia, tercatat jumlah mangrove yang telah dikenali sebanyak sampai dengan 24 famili dan antara 54 sampai dengan 75 spesies (Thomlinson dan Field, 1986 dalam Irwanto, 2006).

Irwanto (2006), menyatakan bahwa ”Asia merupakan daerah yang paling tinggi keanekaragaman dan jenis mangrovenya. Di Thailand terdapat sebanyak 27 jenis mangrove, di Ceylon ada 32 jenis, dan terdapat sebanyak 41 jenis di Filipina. Di benua Amerika hanya memiliki sekitar 12 spesies mangrove, sedangkan Indonesia disebutkan memiliki sebanyak tidak kurang dari 89 jenis pohon mangrove, atau paling tidak menurut FAO terdapat sebanyak 37 jenis”.

Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang berfungsi menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. “Jenis api-api atau di dunia dikenal sebagai black mangrove mungkin merupakan jenis terbaik dalam proses menstabilkan tanah habitatnya karena penyebaran benihnya mudah, toleransi terhadap temperartur tinggi, cepat menumbuhkan akar pernafasan (akar pasak) dan sistem perakaran di bawahnya mampu menahan endapan dengan baik. Mangrove besar, mangrove merah atau Red mangrove (Rhizophora spp.) merupakan jenis kedua terbaik. Jenis-jenis tersebut dapat mengurangi dampak kerusakan terhadap arus, gelombang besar dan angin” (Irwanto, 2006).

2.3 Zonasi Penyebaran Mangrove
Menurut Bengen (2001) bahwa penyebaran dan zonasi hutan mangrove dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Zonasi mangrove juga dapat terbentuk oleh adanya kisaran ekologi yang tersendiri dan niche (relung) yang khusus dari masing-masing jenis.
Pembagian zonasi hutan mangrove dapat disebabkan oleh adanya hasil kompetisi diantara spesies mangrove, dimana semakin banyak jumlah spesies mangrove maka semakin rumit pula bentuk kompetisinya, yang selanjutnya dipengaruhi oleh faktor lokasi. Perkembangan mangrove dalam komunitas zonasi, seringkali diinterpretasikan sebagai tingkat perbedaan dalam suksesi (perubahan secara progresif dalam komposisi jenis selama perkembangan vegetasi). Tumbuhan yang tumbuh mulai dari garis pantai menuju daratan membentuk perbedaan yang gradual.
Kondisi lingkungan dalam suatu komunitas sangat penting karena dapat mempengaruhi kehidupan organisme yang ada di dalamnya. Faktor lingkungan tersebut dapat berupa ketersediaan hara, intensitas cahaya dan kandungan air. Adanya faktor-faktor lingkungan tersebut, menyebabkan organisme dalam suatu komunitas dapat saling berinteraksi. Faktor-faktor lingkungan pada hutan mangrove cukup kompleks, beberapa diantaranya antara lain; temperatur, kelembaban udara, salinitas, pasang surut (tidal), kandungan hara tanah atau substrat, dan oksigen tanah.
 
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian zonasi terkait dengan respons jenis tanaman terhadap keadaan tanah, terpaan ombak, pasang-surut dan salinitas. “Kondisi tanah mempunyai konstribusi besar dalam membentuk zonasi penyebaran tanaman dan hewan seperti perbedaan spesies kepiting pada kondisi tanah yang berbeda” (Irwanto, 2006).
 

Pembentukan zonasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik, faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Terpaan ombak
 
Terpaan ombak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi zonasi ini. Irwanto (2006) menyatakan bahwa ”Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat”. Tidak seperti bagian dalam dan bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai yang terletak di tepi sungai.
 
2. Faktor genangan air pasang.
 
”Bagian luar mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya; bahkan terkadang terus menerus terendam. Sementara pada bagian-bagian di pedalaman hutan tidak selalu terendam air, hanya terendam manakala terjadi pasang tertinggi sebanyak satu atau dua kali dalam sebulan” (Irwanto, 2006).
 
3. Salinitas
 
Salinitas merupakan faktor terakhir yang mempengaruhi zonasi. Irwanto (2006) menyatakan ”Pada bagian dalam terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara sungai memiliki salinitas yang tidak begitu tinggi dibandingkan dengan bagian luar hutan mangrove yang berhadapan dengan laut terbuka”.
Pembentukan zonasi, selain dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni keadaan morfologi tanaman, daya apung dan cara penyebaran bibitnya serta persaingan antar spesies. Formasi hutan mangrove yang terbentuk di kawasan mangrove biasanya didahului oleh jenis pohon pedada dan api-api sebagai pionir yang memagari daratan dari kondisi laut dan angin. Jenis-jenis ini mampu hidup di tempat yang biasa terendam air waktu pasang karena mempunyai akar pasak. Pada daerah berikutnya yang lebih mengarah ke daratan banyak ditumbuhi jenis bakau (Rhizophora spp.). Pohon tancang tumbuh di daerah berikutnya makin menjauhi laut, ke arah daratan. Daerah ini tanahnya agak keras karena hanya sesekali terendam air yaitu pada saat pasang yang besar dan permukaan laut lebih tinggi dari biasanya (Irwanto, 2006).
2.4 Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan

Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan sehinga dapat bertahan hidup dan berkembang.
 
Bengen (2001), menguraikan bahwa ”Daya adaptasi tumbuhan mangrove terhadap lingkungan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Adaptasi terhadap kadar oksigen
 
Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas: (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.).
2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
a. Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
b. Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam.
c. Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen”.

2.5 Penyebaran Hutan Mangrove
Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan tersebar di beberapa pulau seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Kepulauan Maluku. Hampir semua pantai di Indonesia dapat ditumbuhi mangrove, hal ini disebabkan mangrove sangat cocok dan merupakan komunitas utama yang menempati sebagian besar pesisir di daerah tropik. “Penyebaran hutan mangrove di Indonesia umumnya terdapat di Pantai Timur Sumatra, muara sungai di Kalimantan, pantai selatan dan Tenggara Sulawesi, pulau-pulau di Maluku serta pantai utara dan selatan Papua (Dahuri, 2003).
Tahun 1982 Indonesia memiliki hutan mangrove seluas 4,25 juta hektar, sedangkan pada tahun 1993 menjadi 3.7 juta Ha (Kesmana; 1995 dalam Basyuni: 2002), sedangkan DepHut; 1996 dalam Dahuri (2003) menyatakan bahwa ”Luas total hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1996 adalah 3,5 juta Ha”. Kenyataan ini menunjukan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia ini semakin lama semakin berkurang atau semakin sempit, hal ini disebabkan oleh adanya kegiatan manusia yang berpengaruh terhadap ekosistem hutan mangrove. Menurut Rochana (2006) bahwa “Dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem hutan mangrove diantaranya adalah tebang habis (penebangan hutan mangrove), konversi menjadi lahan pertanian dan perikanan, serta pembuangan sampah cair dan padat”.
 

2.6. Indeks Nilai Penting (Important Value lndex) = INP
Indeks Nilai Penting( lNP) atau Impontant Value Index merupakan indeks kepentingan yang menggambarkan pentingnya peranan suatu jenis vegetasi dalam ekosistemnya. Apabila INP suatu jenis vegetasi bernilai tinggi, maka jenis itu sangat mempengaruhi kestabilan ekosistem tersebut (Fachrul, 2007).
Indeks nilai penting biasa digunakan untuk menentukan dominansi jenis tumbuhan terhadap jenis tumbuhan lainnya, karena dalam suatu komunitas yang bersifat heteterogen, data parameter vegetasi dari nilai frekuensi, kerapatan dan dominansinya tidak dapat menggambarkan komunitas tumbuhan secara menyeluruh, maka untuk menentukan nilai pentingnya yang mempunyai kaitan dengan struktur komunitasnya dapat diketahui dari indeks nilai pentingnya, yaitu suatu indeks yang dihitung berdasarkan jumlah seluruh nilai frekuensi relatif (FR), kerapatan relatif (KR) dan dominansi relatif (DR). Nilai penting juga digunakan dalam menginterpretasi komposisi dari suatu komunitas tumbuhan.
Nilai Penting = FR + KR+ DR
Untuk mengetahui komposisi vegetasi suatu komunitas mangrove dilakukan dengan cara menentukan nilai pentingnya sedangkan untuk menentukan pola zonasi hutan mangrove dilakukan dengan cara menentukan indeks similaritas (indeks kesamaan) dan indeks disimilaritas (indeks ketidaksamaan) dari suatu jenis vegetasi tumbuhan, dengan maksud membandingkan pola komunitas dari beberapa stasiun yang diamati untuk mengetahui perbedaan komunitas diantara stasiun yang diamati. “Makin besar indeks kesamaan jenis makin seragam komposisi vegetasi dari kedua tipe vegetasi yang dibandingkan” (Irwanto, 2007).
 

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di kawasan pesisir pantai Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo. Lokasi penelitian terdiri atas 2 stasiun pengamatan. Waktu Penelitian selama 3 bulan yaitu pada Bulan Agustus sampai Bulan Oktober 2008.
 

3.2 Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan tumbuhan Mangrove yang terdapat di Kawasan Hutan Mangrove Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
3.2.2 Sampel dalam penelitian ini adalah semua jenis mangrove yang terdapat pada 2 stasiun pengamatan.
 
3.3 Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah natural ekperiment (eksperimen alami) dengan menggunakan metode Line Transek dengan pendekatan deskriptif. Karena wilayah penelitian (Kawasan hutan Mangrove yang terdapat di Desa Bulalo Kecamatan Kwandang) ini memiliki luas 200 Ha, maka untuk pengambilan sampel dibuat 2 stasiun pengamatan dengan masing-masing stasiun terdiri dari 2 transek dan masing-masing transek terdiri atas 3 plot pengamatan. Line transect tersebut dibuat tegak lurus memotong garis pantai sedangkan panjang garis/line transek 100 m yang terbagi dalam 3 plot/kuadrant dengan ukuran plot masing-masing 10 x 10 meter untuk golongan pohon, 5 x 5 meter untuk golongan anak pohon dan 2 x 2 meter untuk golongan semai (Fachrul, 2007).

3.4 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Role Meter, digunakan untuk membuat plot (kuadrant)
2. Salino meter, digunakan untuk mengukur salinitas/kadar garam air laut.
3. GPS (Global Position System), digunakan untuk menetukan titik koordinat wilayah pengambilan sampel di peta.
4. Soil tester, digunakan untuk menetukan pH tanah dari wilayah pengambilan sampel
5. Kunci Determinasi/identifikasi, digunakan untuk mengidentifikasi tanaman mangrove.
6. Kamera, alat untuk dokumentasi.
7. Peta Wilayah, digunakan untuk mengetahui wilayah tempat pengambilan sampel.
 

3.5 Prosedur Pengumpulan Data
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengambilan data pada penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Menentukan titik masing-masing wilayah yang menjadi wilayah sampel penelitian dan menentukan titik koordinatnya pada peta dengan menggunakan GPS (Global Position System).
2. Membuat jalur transek sepanjang 100 m dengan menggunakan role meter dengan ukuran masing-maisng Plot/kuadrant 10 x 10 meter, 5 x 5 meter dan 2 x 2 meter.
3. Mengambil data jenis-jenis mangrove dari masing-masing stasiun pada hutan mangrove.
4. Menentukan jenis-jenis tumbuhan mangrove dengan menggunakan kunci determinasi/kunci identifikasi.
5. Mengukur pH tanah dari wilayah sampel yang menjadi lokasi penelitian dengan menggunakan Soil Tester.
6. Mengukur salinitas air pada setiap zonasi hutan mangrove dengan menggunakan Salinometer.
Berikut ini adalah Lay Out yang digunakan dalam pengambilan sampel dilapangan.


Lebih jelasnya ukuran plot/kuadran yang akan digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada gambar berikut:

10 m

5 m 10 m
2 m
2 m 5 m

Gambar 3. Ukuran Plot yang Digunakan Dalam Penelitian
(Fachrul, 2007)
3.6 Prosedur Analisis Data
Data mengrove dianalisis dengan cara menghitung besarnya Indeks Similaritas (IS) dan Indeks Disimilaritas, menghitung basal area, menghitung dalam parameter vegetasi dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Cox; 1976 dalam Hardjosuwarno; 1994 yaitu dengan menghitung dominansi, dominansi relatif, densitas (kerapatan), densitas relatif, frekuensi, frekuensi relatif dan besarnya Indeks Nilai Penting. Indeks Nilai Penting ini digunakan untuk interpretasi komposisi vegetasi dan pola zonasi hutan mangrove.
Proses analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa langkah yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Mengambil bagian-bagian morfologi (batang, akar dan daun) dari masing-masing tumbuhan yang menjadi sampel.
2. Membuat herbarium dari masing-masing jenis-jenis tumbuhan yang diperoleh untuk diidentifikasi di Laboratorium Biologi UNG.
3. Mengamati ciri-ciri morfologi dari bagian batang tumbuhan mangrove.
4. Mengamati ciri-ciri morfologi dari bagian akar tumbuhan mangrove.
5. Mengamati ciri-ciri morfologi dari bagian daun tumbuhan mangrove.
6. Mencocokkan data hasil pengamatan (ciri-ciri morfologi dari batang, akar, dan daun dari tumbuhan mangrove) yang diperoleh dengan ciri-ciri dari masing-masing jenis mangrove yang terdapat pada buku determinasi/identifikasi (buku panduan lapangan).
7. Memberikan nama (penamaan) jenis dari masing-masing tumbuhan mangrove berdasarkan kunci determinasi/identifikasi (buku panduan lapangan).
8. Data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Hardjosuwarno (1994), sebagai berikut:
a. Penentuan Basal Area
BA =
 
Dimana;
d = diameter batang setinggi dada

b. Analisis Vegetasi dengan menggunakan rumus:
Dominasi =
 
Dominasi Relatif =
 
Densitas =
 
Densitas Relatif =
 
Frekuensi =
 
Frekuensi relalif =
 

c. Indeks Nilai Penting = Dominasi relatif + Densitas relatif + Frekuensi relatif
d. Penentuan Indeks Similaritas dan Indeks Disimilaritas digunanakan dalam menentukan penyebaran dan pola zonasi hutan mangrove. Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

ID = 100 – IS
 
Dimana:
W = Jumlah nilai penting (NP) dari jenis umum yang terdapat pada dua plot yang diperbandingkan
A = Total Nilai Penting pada plot A
B = Total Nilai Penting pada plot B

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2001. Hutan Mangrove. http://www.lablink.or.id/Eko/Wetland/lhbs- mangrove.htm (6 Februari 2008)

Anonim, 2005. Dinas Kehutanan Provinsi Gorontalo: Gorontalo

Anonim, 2006. Buku Ajar Ekologi Tumbuhan. file:///D|/E-Learning/EKOLOGI %20%20TUMBUHAN/Textbook/BAHAN%20AJAR html (62 of 105) 5/11/2008 2:50:34 PM. Diakses tanggal 18 Desember 2008.

Basyuni, Mohamad. 2002. Panduan Restorasi Hutan Mangrove Yang Rusak (Degrated). http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file=index&req=getit&lid=24 (6 Februari 2008)

Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

Dahuri, Rohmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Fachrul, Melati Ferianita. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.

Hardjosuwarno, S. 1994. Metode Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta

Irwanto, 2006. Keanekaragaman Fauna pada Habitat Mangrove. www.irwantoshut.com (6 Februari 2008).

Irwanto, 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi maluku. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada; Yogyakarta.

Jamili. 1998. Distribusi Frekuensi Diameter Batang Dan Zonasi Mangrove Hubungannya Dengan Faktor Lingkungan di Pantai Napabalano Sulawesi Tenggara. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada; Yogyakarta.

Nyabakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta.
Rochana, Erna. 2006. Ekosistem Mangrove dan Pengelolaannya di Indonesia. www.irwantoshut.com. (20 Februari 2008).